>POTENSI GEMPA 6,8 SR PATAHAN LEMBANG INTAI KOTA BANDUNG | Para peneliti gempa menyatakan bahwa patahan lembang yang ada di Kabupaten Bandung Barat yang membentang sepanjang 22 kilometer tersebut masih aktif dan harus diwaspadai. Menurut pengamat hasil pantauan dari GPS bahwa pergeseran patahan lembang tersebut berkisar 4 sampai 6mm pertahun, selain itu pernah terjadi gempa yang besar di wilayah tersebut akibat dari pergeseran patahan Lembang. Potensi gempa 6,8 SR dari patahan lembang intai kota Bandung.
[Baca juga: pengakuan pangeran charles keturunan drakula dari rumania, Harga tiket Sea Games palembang 2011 500 ribu, foto banjir Thailand lumpuhkan kota Bangkok]
Kabupaten Bandung Barat dikenal sebagai destinasi wisata. Udara sejuk, pemandangan yang indah, juga Observatorium Bosscha, tempat meneropong bintang tertua di Indonesia. Di balik segala daya tarik itu, tersimpan ancaman bencana: gempa bumi.
Para peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama JICA dan Kementerian Riset dan Teknologi memastikan, patahan Lembang dalam keadaan aktif. Patahan itu membujur sepanjang 22 kilometer, dari timur ke barat, mulai dari daerah Batunyusun, melewati Gunung Batu, Observatorium Bosscha, Cihideung, dan ujung baratnya di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Sesar ini adalah salah satu yang teraktif di Pulau Jawa, yang berhubungan dengan aktivitas gunung Sunda purba.
“Sesar Lembang ditemukan aktif,” ujar Irwan Meilano di sela-sela pemaparan hasil penelitian dalam Workshop Multi Diciplinary Hazard reduction from Earthquake and Volcanoes in Indonesia di Jakarta International Expo, Kemayoran Jakarta, Jumat 28 Oktober 2011.
Temuan tersebut dihasilkan dari dua metode. Pertama, pengamatan data GPS di daratan. Catatan GPS menunjukkan pergerakan. Kedua, cara yang kedua adalah dengan menggali hasil longsoran tanah yang terletak dalam patahan. “Kami juga telah mengetahui karakter Lembang, meskipun belum secara detil,” tambah Irwan.
Dari pengamatan GPS, diketahui juga kecepatan laju geser patahan. “Untuk sesar Cimandiri kecepatannya 4 sampai 6 mm per tahun, sedangkan sesar Lembang 2 sampai 4 mm/tahun.”
Para ahli juga menguak fakta terbaru, pada 2.000 tahun lalu, patahan Lembang pernah bergeser yang menimbulkan gempa dengan skala 6,8 Richter. Sementara sekitar 500 tahun lalu patahan ini juga bergeser dengan menghasilkan lindu 6,6 skala Richter. Ini diketahui setelah peneliti membuat dan meneliti sebuah parit tanah di sekitar patahan.
Fakta itu adalah peringatan, sebab gempa bisa berulang. Skala gempa di masa lalu bisa jadi gambaran kekuatan lindu yang mungkin mengguncang di masa depan.
Irwan menjelaskan, penelitian ini bertujuan untuk mengurangi dampak kerusakan akibat gempa dan bencana di Indonesia. Proyek ini menggabungkan berbagai disiplin ilmu, gempa dan tsunami, kelompok vulkanologi, kelompok engineering, kelompok sosial dan kelompok pendidikan. “Diharapkan hasilnya nanti dapat diaplikasikan kepada masyarakat luas,” ujarnya.
Bandung harus bersiap
Data menyebut, ada beberapa bangunan yang tepat berada di atas sesar Lembang antara lain, Observatorium Bosscha, Sesko AU, Sespim Polri, dan Detasemen Kavaleri TNI-AD.
Daerah lain yang juga dilintasi Sesar Lembang adalah Gunung Palasari, Batunyusun, Gunung Batu & Gunung Lembang, Cihideung, dan Jambudipa bagian barat. Wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat berpotensi membahayakan.
Untuk mengurangi dampak kerusakan akibat terjadinya gempa, para peneliti memandang perlu ada suatu kebijakan yang mengatur kawasan tersebut. “Penting kebijakan zonanisasi agar mengurangi risiko bencana,” ujar Eko Yulianto, perwakilan Puslit Geoteknologi LIPI.
Apalagi, dari beberapa pengamatan, kawasan sepanjang patahan Lembang ternyata padat pemukiman. Dan konstruksi bangunan rumah di kawasan tersebut juga tidak menyesuaikan dengan kondisi patahan Lembang. Rentan. “Di sana bangunan hanya batako tumpukan saja, sangat sederhana,” tambahnya.
Yang tak kalah memprihatinkan, penduduk tak sadar hidup di atas potensi pusat gempa. Eko mengaku terhenyak, mengetahui sebagian besar penduduk tak mengetahui informasi yang benar.
“Kami pernah tanya guru geografi di daerah Kecamatan Lembang, ternyata mereka tidak tahu letak patahan Lembang yang tepat,” ujar dia.
Padahal, untuk gempa yang berpusat di darat, ancaman tak hanya datang dari besaran gempa. Tapi juga bagaimana kondisi tanah di sekitar patahan. “Perlu juga dilihat kondisi tanahnya, apalagi Bandung tanahnya lemah,” sebutnya.
Menurut Eko, peluang terjadinya gempa sangat besar, tapi kita tidak bisa menentukan kapan.
Gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta 27 Mei 2006 lalu bisa jadi pelajaran berharga. Lindu yang mengguncang selama 57 detik tercatat berkekuatan 5,9 pada skala Richter, atau versi USGS menyebut 6,2 SR. Namun akibatnya sungguh mematikan. Stuktur tanah yang rentan dipadu dengan padatnya penduduk, membuat lindu ini sangat mematikan.
Lebih dari 5.000 orang tewas, universitas ambruk, mal rusak parah, sebagian batu Candi Prambanan hancur, ribuan rumah juga tak bisa dihuni.
Juga bukan berarti, lama tak terjadi gempa berarti bebas dari guncangan. Lindu Kobe, Jepang jadi contoh. Wilayah yang sebelumnya tak pernah mengalami gempa selama 2.000 tahun, ternyata dilanda gempa bumi dahsyat 7,2 SR yang menghancurkan kota pada 17 Januari 1995. Kala itu, 6.433 orang tewas, 27.000 orang lainnya terluka, dan lebih dari 45.000 rumah hancur.
Sejarah juga mencatat, pada 1910 pernah terjadi gempa bumi besar di daerah Padalarang. Gempa tersebut termasuk dalam pergerakan patahan Cimandiri yang memang aktif. Sesar Lembang terhubung dengan Sesar Cimandiri.
Apa yang harus dilakukan pemerintah Bandung dan wilayah lain yang dilalui patahan?
Solusi untuk menghindari jatuh korban jiwa dalam jumlah besar adalah melakukan antisipasi. “Seperti pendidikan kepada masyarakat. Selain itu pemerintah juga perlu menerbitkan perda yang mengatur tata ruang,” kata Eko.
Namun, dia buru-buru memperingatkan, penerapan hasil sains perlu memperhatikan aspek sosial. Jangan sampai pengalaman di Mentawai berulang. Dia menceritakan, pasca tsunami, pemerintah daerah membangun pemukiman yang jauh dari laut. Namun, warga tak mau menempatinya, karena karakter hidup mereka adalah nelayan yang tak bisa jauh dari laut.
Sampai saat ini para peneliti masih melakukan pendalaman, untuk menguak misteri yang terungkap dari patahan Lembang. Sementara, untuk edukasi pada masyarakat, para peneliti menggandeng Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Gempa Cisarua 3,2 SR
Salah satu bukti aktifnya patahan Lembang adalah gempa 3,3 skala Richter yang menggoyang 28 Agustus 2011 lalu di daerah Cisarua. Ini gempa kecil, namun efeknya dirasakan warga.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, lindu membuat tanah bergelombang sekitar dua detik, lalu rata kembali. Dilaporkan 384 rumah rusak ringan hingga tak lagi bisa dihuni, tembok retak sampai jebol.
"Gempa 3,3 SR saja banyak yang roboh," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, Udjwala Prana Sigit kepada VIVAnews.com, Jumat 28 Oktober 2011 malam.
Temuan ahli bahwa wilayah tersebut pernah digoyang gempa hingga 6 skala Richter menjadi peringatan, agar warga waspada.
Udjwala menambahkan, pihaknya sudah dan terus melakukan sejumlah langkah. Pertama, menyosialiasikan hasil temuan ahli dengan masyarakat. "Tentu saja dengan pendekatan manusiawi. Tidak menakut-nakuti, namun berbagi pengetahuan dan pengalaman," kata dia.
Kedua, dan tak kalah pentingnya adalah mengurangi risiko bencana. Caranya, dengan kesiapsiagaan, juga melatih, memberi pengetahuan, bahwa masyarakat hidup di atas Patahan. "Pengalaman gempa 3,3 SR Cisarua dua bulan lalu, hampir 90 persen rumah warga yang rusak tak dibangun sesuai kaidah bangunan yang memadai," kata dia.
Ke depan, Udjwala menambahkan, rumah yang dibangun harus mengikuti analisis risiko bencana. "Karena mereka tak mungkin dipindahkan, yang terpenting bagaimana meminimalisasi risiko bencana bagi masyarakat yang tinggal sepanjang patahan 22 kilometer itu."
Temuan para ahli, dia menambahkan, menjadi masukan berharga bagi pemerintah. Juga disosialisasikan pada masyarakat. "Para ahli terus meneliti, tugas pemerintah memberikan wacana, penerangan pada masyarakat. Agar mereka waspada tapi tetap tenang."
Bagi BPBD, jelas dia, tak soal seberapa kuat gempa yang akan terjadi. "Yang penting masyarakat disiapkan. Bencana bisa terjadi di manapun, kapanpun, yang terpenting bagaimana kita siap menghadapinya."(sumber: fokus.vivanews.com)
[Baca juga: pengakuan pangeran charles keturunan drakula dari rumania, Harga tiket Sea Games palembang 2011 500 ribu, foto banjir Thailand lumpuhkan kota Bangkok]
Kabupaten Bandung Barat dikenal sebagai destinasi wisata. Udara sejuk, pemandangan yang indah, juga Observatorium Bosscha, tempat meneropong bintang tertua di Indonesia. Di balik segala daya tarik itu, tersimpan ancaman bencana: gempa bumi.
Para peneliti gempa dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), bersama JICA dan Kementerian Riset dan Teknologi memastikan, patahan Lembang dalam keadaan aktif. Patahan itu membujur sepanjang 22 kilometer, dari timur ke barat, mulai dari daerah Batunyusun, melewati Gunung Batu, Observatorium Bosscha, Cihideung, dan ujung baratnya di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat.
Sesar ini adalah salah satu yang teraktif di Pulau Jawa, yang berhubungan dengan aktivitas gunung Sunda purba.
“Sesar Lembang ditemukan aktif,” ujar Irwan Meilano di sela-sela pemaparan hasil penelitian dalam Workshop Multi Diciplinary Hazard reduction from Earthquake and Volcanoes in Indonesia di Jakarta International Expo, Kemayoran Jakarta, Jumat 28 Oktober 2011.
Temuan tersebut dihasilkan dari dua metode. Pertama, pengamatan data GPS di daratan. Catatan GPS menunjukkan pergerakan. Kedua, cara yang kedua adalah dengan menggali hasil longsoran tanah yang terletak dalam patahan. “Kami juga telah mengetahui karakter Lembang, meskipun belum secara detil,” tambah Irwan.
Dari pengamatan GPS, diketahui juga kecepatan laju geser patahan. “Untuk sesar Cimandiri kecepatannya 4 sampai 6 mm per tahun, sedangkan sesar Lembang 2 sampai 4 mm/tahun.”
Para ahli juga menguak fakta terbaru, pada 2.000 tahun lalu, patahan Lembang pernah bergeser yang menimbulkan gempa dengan skala 6,8 Richter. Sementara sekitar 500 tahun lalu patahan ini juga bergeser dengan menghasilkan lindu 6,6 skala Richter. Ini diketahui setelah peneliti membuat dan meneliti sebuah parit tanah di sekitar patahan.
Fakta itu adalah peringatan, sebab gempa bisa berulang. Skala gempa di masa lalu bisa jadi gambaran kekuatan lindu yang mungkin mengguncang di masa depan.
Irwan menjelaskan, penelitian ini bertujuan untuk mengurangi dampak kerusakan akibat gempa dan bencana di Indonesia. Proyek ini menggabungkan berbagai disiplin ilmu, gempa dan tsunami, kelompok vulkanologi, kelompok engineering, kelompok sosial dan kelompok pendidikan. “Diharapkan hasilnya nanti dapat diaplikasikan kepada masyarakat luas,” ujarnya.
Bandung harus bersiap
Data menyebut, ada beberapa bangunan yang tepat berada di atas sesar Lembang antara lain, Observatorium Bosscha, Sesko AU, Sespim Polri, dan Detasemen Kavaleri TNI-AD.
Daerah lain yang juga dilintasi Sesar Lembang adalah Gunung Palasari, Batunyusun, Gunung Batu & Gunung Lembang, Cihideung, dan Jambudipa bagian barat. Wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat berpotensi membahayakan.
Untuk mengurangi dampak kerusakan akibat terjadinya gempa, para peneliti memandang perlu ada suatu kebijakan yang mengatur kawasan tersebut. “Penting kebijakan zonanisasi agar mengurangi risiko bencana,” ujar Eko Yulianto, perwakilan Puslit Geoteknologi LIPI.
Apalagi, dari beberapa pengamatan, kawasan sepanjang patahan Lembang ternyata padat pemukiman. Dan konstruksi bangunan rumah di kawasan tersebut juga tidak menyesuaikan dengan kondisi patahan Lembang. Rentan. “Di sana bangunan hanya batako tumpukan saja, sangat sederhana,” tambahnya.
Yang tak kalah memprihatinkan, penduduk tak sadar hidup di atas potensi pusat gempa. Eko mengaku terhenyak, mengetahui sebagian besar penduduk tak mengetahui informasi yang benar.
“Kami pernah tanya guru geografi di daerah Kecamatan Lembang, ternyata mereka tidak tahu letak patahan Lembang yang tepat,” ujar dia.
Padahal, untuk gempa yang berpusat di darat, ancaman tak hanya datang dari besaran gempa. Tapi juga bagaimana kondisi tanah di sekitar patahan. “Perlu juga dilihat kondisi tanahnya, apalagi Bandung tanahnya lemah,” sebutnya.
Menurut Eko, peluang terjadinya gempa sangat besar, tapi kita tidak bisa menentukan kapan.
Gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta 27 Mei 2006 lalu bisa jadi pelajaran berharga. Lindu yang mengguncang selama 57 detik tercatat berkekuatan 5,9 pada skala Richter, atau versi USGS menyebut 6,2 SR. Namun akibatnya sungguh mematikan. Stuktur tanah yang rentan dipadu dengan padatnya penduduk, membuat lindu ini sangat mematikan.
Lebih dari 5.000 orang tewas, universitas ambruk, mal rusak parah, sebagian batu Candi Prambanan hancur, ribuan rumah juga tak bisa dihuni.
Juga bukan berarti, lama tak terjadi gempa berarti bebas dari guncangan. Lindu Kobe, Jepang jadi contoh. Wilayah yang sebelumnya tak pernah mengalami gempa selama 2.000 tahun, ternyata dilanda gempa bumi dahsyat 7,2 SR yang menghancurkan kota pada 17 Januari 1995. Kala itu, 6.433 orang tewas, 27.000 orang lainnya terluka, dan lebih dari 45.000 rumah hancur.
Sejarah juga mencatat, pada 1910 pernah terjadi gempa bumi besar di daerah Padalarang. Gempa tersebut termasuk dalam pergerakan patahan Cimandiri yang memang aktif. Sesar Lembang terhubung dengan Sesar Cimandiri.
Apa yang harus dilakukan pemerintah Bandung dan wilayah lain yang dilalui patahan?
Solusi untuk menghindari jatuh korban jiwa dalam jumlah besar adalah melakukan antisipasi. “Seperti pendidikan kepada masyarakat. Selain itu pemerintah juga perlu menerbitkan perda yang mengatur tata ruang,” kata Eko.
Namun, dia buru-buru memperingatkan, penerapan hasil sains perlu memperhatikan aspek sosial. Jangan sampai pengalaman di Mentawai berulang. Dia menceritakan, pasca tsunami, pemerintah daerah membangun pemukiman yang jauh dari laut. Namun, warga tak mau menempatinya, karena karakter hidup mereka adalah nelayan yang tak bisa jauh dari laut.
Sampai saat ini para peneliti masih melakukan pendalaman, untuk menguak misteri yang terungkap dari patahan Lembang. Sementara, untuk edukasi pada masyarakat, para peneliti menggandeng Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Gempa Cisarua 3,2 SR
Salah satu bukti aktifnya patahan Lembang adalah gempa 3,3 skala Richter yang menggoyang 28 Agustus 2011 lalu di daerah Cisarua. Ini gempa kecil, namun efeknya dirasakan warga.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, lindu membuat tanah bergelombang sekitar dua detik, lalu rata kembali. Dilaporkan 384 rumah rusak ringan hingga tak lagi bisa dihuni, tembok retak sampai jebol.
"Gempa 3,3 SR saja banyak yang roboh," kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Barat, Udjwala Prana Sigit kepada VIVAnews.com, Jumat 28 Oktober 2011 malam.
Temuan ahli bahwa wilayah tersebut pernah digoyang gempa hingga 6 skala Richter menjadi peringatan, agar warga waspada.
Udjwala menambahkan, pihaknya sudah dan terus melakukan sejumlah langkah. Pertama, menyosialiasikan hasil temuan ahli dengan masyarakat. "Tentu saja dengan pendekatan manusiawi. Tidak menakut-nakuti, namun berbagi pengetahuan dan pengalaman," kata dia.
Kedua, dan tak kalah pentingnya adalah mengurangi risiko bencana. Caranya, dengan kesiapsiagaan, juga melatih, memberi pengetahuan, bahwa masyarakat hidup di atas Patahan. "Pengalaman gempa 3,3 SR Cisarua dua bulan lalu, hampir 90 persen rumah warga yang rusak tak dibangun sesuai kaidah bangunan yang memadai," kata dia.
Ke depan, Udjwala menambahkan, rumah yang dibangun harus mengikuti analisis risiko bencana. "Karena mereka tak mungkin dipindahkan, yang terpenting bagaimana meminimalisasi risiko bencana bagi masyarakat yang tinggal sepanjang patahan 22 kilometer itu."
Temuan para ahli, dia menambahkan, menjadi masukan berharga bagi pemerintah. Juga disosialisasikan pada masyarakat. "Para ahli terus meneliti, tugas pemerintah memberikan wacana, penerangan pada masyarakat. Agar mereka waspada tapi tetap tenang."
Bagi BPBD, jelas dia, tak soal seberapa kuat gempa yang akan terjadi. "Yang penting masyarakat disiapkan. Bencana bisa terjadi di manapun, kapanpun, yang terpenting bagaimana kita siap menghadapinya."(sumber: fokus.vivanews.com)