>10 Penyebab Mahalnya Ongkos Birokrasi di Indonesia | Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di Indonesia sangat berbelit belit, bahkan untuk mengurus usaha kecil pun sangat sulit, maka tidak heran bahwa investor luar negeri begitu enggan untuk masuk ke Indonesia. Alasan para investor enggan masuk ke Indonesia adalah Korupsi dan Birokrasi yang begitu kental. Sebuah lembaga LSM yang bernama FITRA mengeluarkan data penyebab mahalnya ongkos birokrasi di Indonesia. Berikut 10 Penyebab mahal dan borosnya Ongkos Birokrasi di Indonesia
[Baca juga: Indonesia jadi pengimpor beras terbesar dunia, foto dan desain baru Bandara Soekarno Hatta, 10 cara menyegarkan kembali otak dan pikiran]
Belum lama ini Menteri Keuangan menyatakan belanja pegawai semakin membebani anggaran. Fakta ini tidak dapat dipungkiri karena belanja pegawai pada APBN 2011 membengkak hingga 233% atau Rp126,5 trilyun dibandingkan tahun 2005.
Sayang, peningkatan belanja ini tidak dirasakan dampaknya terhadap perbaikan layanan birokrasi. Bahkan LSM FITRA menemukan 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60 persen dan 16 daerah diantaranya bahkan di atas 70 persen. Jika terus terjadi, maka tujuan anggaran sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat berpotensi untuk dilanggar.
Berdasarkan data FITRA, membengkaknya ongkos birokrasi disebabkan oleh 10 hal. Di antaranya:
1. Pemberian Remunerasi. Pemberian remunerasi sebagai bagian reformasi birokrasi, karena dianggap rendahnya gaji merupakan penyebab birokrasi yang korup dan kinerja rendah. Mulai 2007, Kemkeu mempelopori pemberian remunerasi pejabat dengan grade I di Kemkeu memperoleh remunerasi hinga Rp46,9 juta. Remunerasi terus diberlakukan ke Kementerian lain termasuk Polri dan Mahkamah Agung. Bahkan pada APBN-P 2010 dianggarkan Rp13,4 triliun untuk remunerasi.
2. Kenaikan Gaji Pegawai. Dalam lima tahun terakhir berturut-turut Pemerintah meningkatkan gaji PNS, TNI/Polri antara 5 sampai 15 persen, terakhir 2011. Kenaikan tunjangan struktural dan fungsional, pemberian gaji ke 13, pemberian uang makan mulai tahun 2007, penyesuaian pokok pensiun dan pemberian bulan ke 13 untuk pensiun.
3. Istana menggemukan birokrasi. Disadari atau tidak, lingkaran istana tidak menjadi lokomotif reformasi birokrasi. Sejak Presiden terpilih kedua kalinya, membentuk kabinet yang mengakomodasi seluruh anggota koalisinya dengan jumlah 34, meskipun Kementerian ini merupakan batas maksimal yang diberikan UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian/Lembaga. Tidak cukup sampai disana, Presiden-pun menambah 10 jabatan Wakil Menteri yang sampai saat ini belum jelas pembagian kerjanya dengan Menteri maupun Pejabat Esselon I.
4. Banjir komisi. Lembaga Kepresidenan justru tidak mampu memberikan contoh bagi Kementerian/ Lembaga lain. Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dengan struktur. Maka dibentuk lagi, lembaga di lingkungan istana Presiden seperti, staff khusus, staff pribadi, juru bicara, unit kerja, dewan pertimbangan Presiden , satgas mafia hukum dan terakhir Satgas TKI (tenaga Kerja Indonesia). Ironinya, pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya, bahkan cenderung menambah beban anggaran Negara.
5. Kebijakan pegawai tanpa mempertimbangkan anggaran. Sebagai bendahara Negara seharusnya Menkeu mampu memprediksi setiap kebijakan berkaitan dengan pegawai akan berdampak pada belanja pegawai “budget constraint”. Terlebih belanja ini bersifat fix cost yang mudah diprediksi.
6. Tunjangan Pegawai Daerah. PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memperbolehkan daerah memberikan tambahan tunjangan pada pegawai daerah. Di DKI Jakarta, pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp50 Juta, dan staff mendapat tambahan antara Rp4,7–2,9 juta. Perbedaan tambahan tunjangan ini menjadi penyebab beratnya belanja pegawai dan distribusi pegawai yang tidak merata, untuk mengejar tambahan penghasilan, sehingga pada daerah-daerah dengan tambahan penghasilan akan semakin berat beban belanja pegawainya.
7. Skema Dana Perimbangan. Skema dana perimbangan saat ini belum berpihak pada daerah. Sejak otonomi daerah sebanyak 70 persen urusan didesentralisasikan ke Daerah, sementara pusat memegang lima kewenangan utama. Namun berbanding terbalik dari sisi fiscal, sejak tahun 2005 rata-rata belanja transfer daerah 31 persen dari APBN. Membengkaknya belanja pegawai, juga disebabkan oleh formula DAU yang tidak memberikan insentif daerah.
8. Politisasi Birokrasi. Sistem rekrutment yang sarat KKN terhadap PNSD dan politisasi birokrasi masih terjadi di daerah. Meski pusat memiliki control untuk menilai formasi pegawai yang dibutuhkan dan rekrutment, namun tidak dapat dibantah aroma suap masih tercium saat rekurtmen. Rekrutmen juga tidak terlepas dari politisasi, menjelang Pilkada, Kepala Daerah sebagai Pembina PNSD akan merekrut lebih banyak PNSD untuk meraih dukungan.
9. Tidak ada rasio pegawai berdasarkan karakteristik daerah. Sampai saat ini pemerintah belum memiliki rasio jumlah pegawai yang ideal untuk melakukan pelayanan publik. Ketiadaan rasio ini menjadi penyebab terus menerus dilakukan rekurtment pegawai tanpa memperhatikan kebutuhan.
10. Pemekaran Daerah. Pemekaran daerah juga menjadi pemicu membengkaknya belanja pegawai di daerah. Sebagai konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai merupakan keharusan, ditambah rekrutmen yang masih mengutamakan putra daerah dibandingkan profesionalitas. Sebagai contoh, pada tahun 2008 terdapat 481 daerah dan tahun 2009 naik menjadi 477 daerah, karena terjadinya pemekaran, rata-rata penerimaan DAU berkurang, dari 358 milyar pada tahun 2008 menjadi 351,7 miliar pada tahun 2009.(news.okezone.com)
[Baca juga: Indonesia jadi pengimpor beras terbesar dunia, foto dan desain baru Bandara Soekarno Hatta, 10 cara menyegarkan kembali otak dan pikiran]
Belum lama ini Menteri Keuangan menyatakan belanja pegawai semakin membebani anggaran. Fakta ini tidak dapat dipungkiri karena belanja pegawai pada APBN 2011 membengkak hingga 233% atau Rp126,5 trilyun dibandingkan tahun 2005.
Sayang, peningkatan belanja ini tidak dirasakan dampaknya terhadap perbaikan layanan birokrasi. Bahkan LSM FITRA menemukan 124 daerah yang belanja pegawainya di atas 60 persen dan 16 daerah diantaranya bahkan di atas 70 persen. Jika terus terjadi, maka tujuan anggaran sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat berpotensi untuk dilanggar.
Berdasarkan data FITRA, membengkaknya ongkos birokrasi disebabkan oleh 10 hal. Di antaranya:
1. Pemberian Remunerasi. Pemberian remunerasi sebagai bagian reformasi birokrasi, karena dianggap rendahnya gaji merupakan penyebab birokrasi yang korup dan kinerja rendah. Mulai 2007, Kemkeu mempelopori pemberian remunerasi pejabat dengan grade I di Kemkeu memperoleh remunerasi hinga Rp46,9 juta. Remunerasi terus diberlakukan ke Kementerian lain termasuk Polri dan Mahkamah Agung. Bahkan pada APBN-P 2010 dianggarkan Rp13,4 triliun untuk remunerasi.
2. Kenaikan Gaji Pegawai. Dalam lima tahun terakhir berturut-turut Pemerintah meningkatkan gaji PNS, TNI/Polri antara 5 sampai 15 persen, terakhir 2011. Kenaikan tunjangan struktural dan fungsional, pemberian gaji ke 13, pemberian uang makan mulai tahun 2007, penyesuaian pokok pensiun dan pemberian bulan ke 13 untuk pensiun.
3. Istana menggemukan birokrasi. Disadari atau tidak, lingkaran istana tidak menjadi lokomotif reformasi birokrasi. Sejak Presiden terpilih kedua kalinya, membentuk kabinet yang mengakomodasi seluruh anggota koalisinya dengan jumlah 34, meskipun Kementerian ini merupakan batas maksimal yang diberikan UU No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian/Lembaga. Tidak cukup sampai disana, Presiden-pun menambah 10 jabatan Wakil Menteri yang sampai saat ini belum jelas pembagian kerjanya dengan Menteri maupun Pejabat Esselon I.
4. Banjir komisi. Lembaga Kepresidenan justru tidak mampu memberikan contoh bagi Kementerian/ Lembaga lain. Lembaga Kepresidenan semakin gemuk dengan struktur. Maka dibentuk lagi, lembaga di lingkungan istana Presiden seperti, staff khusus, staff pribadi, juru bicara, unit kerja, dewan pertimbangan Presiden , satgas mafia hukum dan terakhir Satgas TKI (tenaga Kerja Indonesia). Ironinya, pembentukan lembaga-lembaga ini tidak pernah dievaluasi efektifitasnya, bahkan cenderung menambah beban anggaran Negara.
5. Kebijakan pegawai tanpa mempertimbangkan anggaran. Sebagai bendahara Negara seharusnya Menkeu mampu memprediksi setiap kebijakan berkaitan dengan pegawai akan berdampak pada belanja pegawai “budget constraint”. Terlebih belanja ini bersifat fix cost yang mudah diprediksi.
6. Tunjangan Pegawai Daerah. PP No 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah memperbolehkan daerah memberikan tambahan tunjangan pada pegawai daerah. Di DKI Jakarta, pejabat eselon I mendapatkan tambahan penghasilan sampai dengan Rp50 Juta, dan staff mendapat tambahan antara Rp4,7–2,9 juta. Perbedaan tambahan tunjangan ini menjadi penyebab beratnya belanja pegawai dan distribusi pegawai yang tidak merata, untuk mengejar tambahan penghasilan, sehingga pada daerah-daerah dengan tambahan penghasilan akan semakin berat beban belanja pegawainya.
7. Skema Dana Perimbangan. Skema dana perimbangan saat ini belum berpihak pada daerah. Sejak otonomi daerah sebanyak 70 persen urusan didesentralisasikan ke Daerah, sementara pusat memegang lima kewenangan utama. Namun berbanding terbalik dari sisi fiscal, sejak tahun 2005 rata-rata belanja transfer daerah 31 persen dari APBN. Membengkaknya belanja pegawai, juga disebabkan oleh formula DAU yang tidak memberikan insentif daerah.
8. Politisasi Birokrasi. Sistem rekrutment yang sarat KKN terhadap PNSD dan politisasi birokrasi masih terjadi di daerah. Meski pusat memiliki control untuk menilai formasi pegawai yang dibutuhkan dan rekrutment, namun tidak dapat dibantah aroma suap masih tercium saat rekurtmen. Rekrutmen juga tidak terlepas dari politisasi, menjelang Pilkada, Kepala Daerah sebagai Pembina PNSD akan merekrut lebih banyak PNSD untuk meraih dukungan.
9. Tidak ada rasio pegawai berdasarkan karakteristik daerah. Sampai saat ini pemerintah belum memiliki rasio jumlah pegawai yang ideal untuk melakukan pelayanan publik. Ketiadaan rasio ini menjadi penyebab terus menerus dilakukan rekurtment pegawai tanpa memperhatikan kebutuhan.
10. Pemekaran Daerah. Pemekaran daerah juga menjadi pemicu membengkaknya belanja pegawai di daerah. Sebagai konsekuensi daerah baru, kebutuhan akan pegawai merupakan keharusan, ditambah rekrutmen yang masih mengutamakan putra daerah dibandingkan profesionalitas. Sebagai contoh, pada tahun 2008 terdapat 481 daerah dan tahun 2009 naik menjadi 477 daerah, karena terjadinya pemekaran, rata-rata penerimaan DAU berkurang, dari 358 milyar pada tahun 2008 menjadi 351,7 miliar pada tahun 2009.(news.okezone.com)